Rabu, 11 Agustus 2010

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM NEUROLOGI DENGAN TRAUMA KEPALA



I.       PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Trauma kapitis atau lebih dikenal dengan gegar otak oleh masyarakat, merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan pada semua tingkat usia. Trauma kapitis merupakan urutan kedua penyebab kematian pada usia antara 1-35 tahun, kurang lebih setiap tahun 77.000 orang meninggal dan sekitar 50.000 orang menderita kelumpuhan setiap tahunnya di Amerika Serikat karena trauma kapitis. (Barbara C. Long, Medical Surgical Nursing, 1996 ).

Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada data pasien mengenai angka kejadian trauma kapitis, tetapi yang jelas trauma sering dan banyak terjadi di rumah sakit di seluruh Indonesia.

Penyebab trauma kapitis adalah benturan pada kepala, seperti kecelakaan kerja, lalu lintas dan jatuh. Trauma kapitis lebih berbahaya dari trauma pada organ lainnya, karena trauma ini mengenai otak. Selain itu sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Trauma ini mengakibatkan malapetaka besar bagi seorang individu. Beberapa masalah disebabkan langsung dan banyak lainnya karena efek sekunder dari trauma. Penderita dapat meninggal atau menjadi cacat, invalid, tergantung pada orang lain dan menjadi beban bagi keluarga.

Melihat kenyataan di atas, penderita perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai tenaga kesehatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat mempunyai peran tersendiri dan penting karena perawatlah yang setiap waktu berhubungan langsung dengan pasien. Usaha kita sebagai perawat adalah memberi asuhan keperawatan yang konfrehensif. Kita harus mampu menemukan tanda-tanda dini jika terjadi gangguan mental, gangguan fisik maupun kematian, agar dapat memberikan pertolongan guna mencegah hal-hal yang lebih buruk dan lebih berbahaya bagi penderita trauma kapitis. Selain itu perawat juga harus mampu memberikan perawatan discharge planning bagi pasien trauma kapitis ketika pulang.

b.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui dan memahami latar belakang penyakit, definisi, klasifikasi dan patofisiologi dari trauma kapitis.
2.      Agar perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada penderita trauma kapitis.
3.      Menambah pengetahuan pembaca tentang trauma kapitis.

c.       Metode Penulisan
Dalam menulis makalah ini, penulis menggunakan satu metode, yaitu : Studi kepustakaan, yaitu dengan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan trauma kapitis.

d.      Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang dipakai dalam menyusun makalah ini adalah :
Bab I merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar medik dan konsep dasar keperawatan. Konsep dasar medik terdiri dari definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, komplikasi, penatalaksanaan. Sedangkan konsep dasar keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan dan perencanaan.
Bab III berisikan kesimpulan dan diakhiri dengan daftar pustaka.

II.     TINJAUAN TEORITIS
A.     KONSEP MEDIS
1.      Defenisi
Trauma capitis adalah gangguan neurologis yang diakibatkan direntang dari tidak jelas terlihat sampai status vegetatif atau kematian karena itu cedera kepala harus serius (Marylinn E. Doengoes, RN, BSN, MA, CS Rencana Asuhan Keperawatan dan Pendokumentasian Pasien. Edisi 3, 2001, halaman 270)
Trauma capitis adalah trauma yang mengakibatkan terjadinya perdarahan di subarahknoid yang disebabkan oleh rupturnya aneurisma serebral, hemorage, hipertensif rupturnya malformasi arteriovena (Susan Martin Tucker, Patient Care Standart, Edisi V, Volume 3, 1998, hal  485)
Penentuan Keparahan
Deskripsi
Frekuensi
Minor




Sedang


Berat
SKG 13-15
Dapat terjadinya kehilangan kesadaran
Atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur temporal, tidak ada kontusio serebral/haematome
SKG 9-12
Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia labih dari 30 menit kurang dari 24 jam
SKG 3-8
Kehilangan kesadaran dan/atau terjadinya amnesia lebih dari 24 jam jaga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial
55%




24%


21%

2.      Etiologi
Adapun etiologi dari trauma capitis (hematome subarahnoid) adalah
a.       Karena ruptur aneurisme serebral
b.      Hemorage
c.       Hipertensif
d.      Ruptur malformasi arteriovena
e.       Aneurisma intrakranial
(Susan Martin Tucker, Patient Care Standarts, edisi V, Volume 3, 1998, hal  485)

3.      Patofisiologi
Trauma capitis dapat terjadi karena cedera kepala, trauma tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya beberapa variebal yang mempengaruhi luasnya cedera kepala :
a.       Lokasi dan arah dari penyebab benturan
b.      Kecepatan kekuatan yang datang
c.       Permukaan dari kekuatan yang menimpa
d.      Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan
            Cedera otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya ketahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga (dilepasnya gas dari cairan lumbal, darah dan jaringan otak).
            Dilepasnya gas merusak jaringan saraf trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, gesekan atau tertekan.
            Cedera akselerasi terjadi bila tertekan benturan dari objek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Cedera deselerasi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak
            Cedera kepala bila terbuka dan tertutup. Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrans. Biasanya ada beberapa tipe patah tulang kepala diantaranya adalah :
1)      Linear-retak sederhana pada tulang
2)      Pecah-retaknya satu atau lebih dari dua fragmen
3)      Depresi-tulang terdorong sampai di bawah permukaan tulang normal
4)      Hancur-bisa linear, banyak potongan atau tertekan
            Laserasi pada kulit kepala menyebabkan perdarahan hebat karena kaya pembuluh darah. Perdarahan akibat trauma capitis dapat terjadi pada lokasi-lokasi :
1)      Scalp (kulit kepala)
2)      Epidural
3)      Subdural
4)      Sub araknoid
5)      Intra kranial
Hematome subdural dapat diklasifikasikan :
1)      Akut-terjadi sampai 48 jam
2)      Subakut-terjadi dalam 48 jam sampai 2 minggu
3)      Kronis-terjadi setelah beberapa minggu atau bulan
Kebanyakan kematian cedera kepala akibat edema yang disebabkan oleh kerusakan dan disertai dekstruksi primer pusat vital. Edema otak merupakan  penyebab utama peningkatan tekanan intrakranial. Bersamaan dengan teradinya edema otak gangguan sirkulasi lokal maupun sistemik dan disertai ataksia akan terjadi.
(Barbara C. Long, Perawatan Medikal Bedah, 1996, hal 203)

4.      Tanda dan Gejala Hematoma Subaraknoid
a.       Umumnya mendadak saat awitan
b.      Peningkatan TIK
c.       Perubahan tingkat kesadaran
d.      Sakit kepala (mungkin hebat)
e.       Vertigo
f.        Kacau mental
g.       Stufer
h.       Koma
i.         Gangguan okular
j.        Hemifaresis atau hemiplegia
k.      Mual, muntah
l.         Berkeringat dan/atau menggigil
m.     Iritasimeningeal
n.       Tanda-tanda kernig’s dan brudzinski’s positif
o.      Fotofobia
p.      Penglihatan ganda
(Susan Martin Tucker, Patient Care Standarts, edisi V, Volume 3, 1998, hal  486)


5.      Komplikasi
Adapun kemungkinan komplikasi dari trauma capitis (hematoma subaraknoid):
a.       Vasofasme serebral
b.      Penyimpangan neurologis fokal
c.       Iskemia serebral
d.      Infark serebral
e.       Hidrosefalus
f.        Perdarahan ulang
(Susan Martin Tucker, Patient Care Standarts, edisi V, Volume 3, 1998)

6.      Penatalaksanaan
a.       Bantuan ventilator/oksigen
b.      Gas darah arteri
c.       Pembatasan aktivitas komplit
d.      Pemantauan tekanan intrakranial (TIK)
e.       Terapi parenteral
f.        Obat-obatan
­         Antihipertensif
­         Analgetik (kodein)
g.       Hiperventilasi
h.       Operasi
­         Aneurisma : kliping, ligasi
­         Malformasi arteriovenousa (MAV) : imobilisasi, operasi eksisi MAV
i.         Pengobatan vasospasme
­         Terapi hipervolemia-hipertensif
­         Cairan dan volume ekspander
j.        Obat-obatan
­         Antegonis serotonin (reserpin)
­         Kanamisin sulfat
­         Agen penyekat kalsium (nifedipine, verapomil)
­         Barbiturat
­         Pemantauan hemodinamik
(Susan Martin Tucker, Patient Care Standarts, edisi V, Volume 3, 1998)

B.     KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MENURUT DOENGOES (2002)
  1. Pengkajian:
            Pengkajian adalah tahap awal dari proses perawatan dan merupakan  sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan  lain :
a.       Aktivitas/istirahat
Gejala  : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda   : Perubahan kesadaran, letargi, hemifarese, quardefleksi, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot,otot sfastik.
b.      Sirkulasi
Gejala
:
-         Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
-         Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia)
c.       Integritas ego
Gejala
:
Perubahan tingkal laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda
:
Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, defresi dan infulsif
d.      Eliminasi
Gejala
:
Inkontinensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
e.       Makanan/cairan
Gejala
:
Mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda
:
-         Muntah (mungkin proyektif)
-         Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dispagia)
f.        Neurosensori
Gejala  : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan dalam penglihatan seperti ketajamnya, kehilangan sebagian lapangan pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan juga penciuman,
Tanda   : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil, kehilangan penginderaan dan penciuman serta pendengaran, tendon, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan

g.       Nyeri/kenyamanan
Gejala  : Sakit dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama
Tanda
:
Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih
h.       Pernapasan
Gejala  : Perubahan pola nafas. Nafas berbunyi, stridor, tersedak
i.         Keamanan
Gejala
:
Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda
:
-         Fraktur/dislokasi
-         Gangguan penglihatan, kulit laserasi, abrasi, perubahan polusi, perubahan warna seperti “raccon eye”
-         Adanya aliran cairan dari telinga/hidung. Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis
j.        Interaksi sosial
Gejala
:
Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disatria, anemia
k.      Penyuluhan dan pembelajaran
Gejala  : Pengguna alkohol/obat lain
Pertimbangan                : Menunjukkan rata-rata lama dirawat, 12 hari.
Rencana Pemulangan    : Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makanan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang atau penempatan fasilitas lainnya di rumah.
(Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Marylinn E. Doengoes, 2000)

  1. Diagnosa Keperawatan
            Diagnosa keperawatan adalah masalah kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, dia mampu mempunyai wewenang untuk memberikan tindakan keperawatan (Menurut Gordon).
            Adapun diagnosa yang mungkin pada gangguan neurologis trauma capitis adalah sebagai berikut :
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan vasospame sekunder terhadap cedera hemoragi.
b.      Kerusakan komunitas verbal berhubungan dengan efek kerusakan pada hemisfer bahasa (Carpenito Lynda Juall, Rencana Asuhan Didokumentasi Keperawatan , edisi II, Jakarta, EGC, 1999)
c.       Nyeri (sakit kepala, kekakuan nukhal) yang berhubungan dengan iritasi meninges sekunder terhadap hemoragi subarknoid.
d.      Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan keruskan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak)
e.       Perubahan proses pikir sehubungan dengan perubahan fisiologi konflik psikologis
f.        Kerusakan mobilisasi yang berhubungan dengan hemiparises, hemiplegia, postur tubuh abnormal, spontanitas atau kontraktur
g.       Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadarn), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik
h.       Resiko tinggi terhadap terjadinya infeksi yang berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, perubahan kerja silia, stasis cairan tubuh kekurangan nutrisi.
i.         Perubahan persepsi sensoris yang berhubungan dengan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisif neurologis)
j.        Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian tentang hasil/harapan
k.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan.
(Marylinn E. Doengoes, BSN, MA, CS, Rencana Asuhan Keperawatan, 2000, hal. 270-289)

  1. Intervensi Keperawatan
            Rencana keperawatan adalah suatu dokuman lukisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan dan intervensi
Adapun rencana perawatan yang dibuat adalah :
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan vasospame sekunder terhadap cedera hemoragi.
Tujuan            : Perubahan perfusi jaringan tidak terjadi.

Kriteria hasil   :
§         Pasien memperlihatkan tingkat kesadarna yang membaik
§         Mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi:
1)      Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan
R/   : Menurunkan  tekanan arteri dan meningkatkan  sirkulasi
2)      Berikan oksigen sesuai indikasi
R/   : Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral. 
3)      Pantau/catat status neurologis dan bandingkan dengan normalnya
R/   : Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensi peningkatan TIK dan mengetahui kemajuan/resolusi kerusakan susunan saraf pusat 
4)      Pantau tanda vital pasien .
R/   : Mengetahui keadaan umum pasien  
5)      Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya terhadap cahaya.
R/   : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial (N III) berguna dalam menentukan apakah otak tersebut masih baik.
6)      Catat perubahan dalam penglihatan
R/   : Gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena.
7)      Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi seperti fungsi bicara bila pasien sadar
R/   : Perubahan dalam isi kognitif dan berbicara merupakan  indikator dan derajat gangguan serebral
8)      Kolaborasi komunikasi verbal berhubungan  dengan efekkerusakan pada hemisfer bahasa
R/   : Dapat digunakan memperbaiki aliran darah serebral dan selanjutnya mencegah pembekuan saat embolus/trombus yang merupakan  masalahnya.



b.      Kerusakan komunitas verbal berhubungan dengan efek kerusakan pada hemisfer bahasa
Tujuan            : Pasien dapat melakukan  komunikasi verbal dengan baik
Kriteria hasil   :
§         Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan
§         Mengindikasikan sumber-sumber dengan tepat
§         Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi
Intervensi:
1)      Kaji derajat disfungsi seperti pasien tidak mampu memahami kata
R/   : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral
2)      Perhatikan kesalahan dalam komunikasi
R/   : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk menentukan ucapan yang keluar dan tidak menyadari komunikasi yang diucapkan tidak nyata
3)      Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana seperti membuka mata
R/   : Melakukan  penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik
4)      Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut
R/   : Melakukan  penilaian terhadap adanya kerusakan motorik
5)      Bicaralah dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat
R/   : Meninggikan suara dapat menimbulkan marah pasien
6)      Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “pus”
R/   : Mengidentifikasi adanya disatria sesuai komponen motorik dari bicara

c.       Nyeri (sakit kepala, kekakuan nukhal) yang berhubungan dengan iritasi meninges sekunder terhadap hemoragi subarknoid
Tujuan            : Nyeri dapat teratasi.
Kriteria hasil   :
§         Pasien mencapai tingkat kenyamanan
§         Pasien terlihat labih nyaman, tidur dan istirahat dengan tenang
Intervensi:
1)      Kaji tipe, letak dan kehebatan nyeri
R/   : Untuk mengetahui tindakan selanjutnya
2)      Pantau terhadap tanda peningkatan nyeri atau rasa tidak nyaman laporkan setiap perubahan dalam karakter nyeri
R/   : Untuk mengetahui perkembangan pasien . 
3)      Berikan obat analgetik sesuai dengan anjuran
R/   : Membantu mengurangi nyeri  
4)      Pertahankan lingkungan yang nyaman, modivikasi semua rangsangan yang mungkin dapat  meningkatkan nyeri atau rasa tak nyaman : redupkan pencahayaan .
R/   : Dengan memodivikasi semua rangsangan meningkatkan rasa nyeri seperti suara ribut, akan membantu mengurangi rasa nyeri pasien.
5)      Ubah posisi pasien dengan hati-hati ke posisi yang lebih nyaman.
R/   : Membantu memperlancar aliran darah.
6)      Ajarkan teknik relaksasi kepada pasien dengan teknik tarik nafas dalam
R/   : Untuk mengalihkan perhatian pasien dari rasa nyeri

d.      Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan keruskan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak)
Tujuan            : Pola nafas dapat efektif kembali
Kriteria hasil   :
§         Mempertahankan pola nafas normal/efektif, bebas sianosis dengan GDA batas normal
Intervensi:
1)      Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan
R/   : Perubahan dapat menandakan awitan pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/luasnya kerusakan paru yang mengakibatkan apnea
2)      Catat kompetensi refleks gangguan menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas sendiri. Pasang jalan nafas sesuai indikasi
R/   : Kemampuan mobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk memelihara jalan nafas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunya jalan nafas buatan atau intubasi. 
3)      Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai dengan indikasi
R/   : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan  adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas. 
4)      Anjurkan untuk melakukan nafas yang efektif jika pasien sadar .
R/   : Mencegah/menurunkan atelektasis

e.       Perubahan proses pikir sehubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis
Tujuan            : Proses pikir dapat normal kembali.
Kriteria hasil   :
§         Pasien dapat mempertahankan/melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya.
§         Pasien mengenali perubahan berpikir/perilaku
§         Berpartisipasi dalam aturan terapeutik/penyerapan kognitif
Intervensi:
1)      Kaji rentan perhatian, kabingungan, dan catat tingkat ansietas pasien
R/   : Rentan perhatian/kemampuan untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses pikir pasien 
2)      Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan kepribadian/tingkal laku pasien sebelum mengalami trauma dengan respon pasien sekarang
R/   : Masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi, respon marah dan berbicara/proses pikir yang kacau, munculnya halusinasi atau perubahan pada interpretasi stimulus dapat berkembang tergantung dari keadaan trauma atau tergantung dari berkembangnya bagian tertentu dan otak yang mengalami trauma tersebut
3)      Berikan informasi tentang proses yang ada hubungannya dengan gejala yang muncul
R/   : Pemahaman bahwa pengkajian dilakukan secara teratu untuk menimbulkan suatu hal yang serius pada pasien dapat membantu menurunkan ansietas
4)      Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negatif, argumentasi dan komfrentasi .
R/   : Menurunkan  resiko terjadinya respon pertengkaran atau penolakan  
5)      Dengar dengan penuh perhatian semua hal yang diungkapkan pasien .
R/   : Perhatian dan dukungan yang diberikan pada individu akan meningkatkan harga diri dan mendorong kesinambungan usaha tersebut.
6)      Tingkatkan sosialisasi dalam batas-batas yang normal
R/   : Penguatan terhadap tingkah laku yang positif mungkin bermanfaat dalam proses belajar struktur internal.
7)      Instruksikan untuk melakukan teknik relaksasi. Berikan aktivitas yang beragam
R/   : Dapat membantu untuk menfokuskan kembali perhatian pasien untuk menurunkan ansietas pada tingkat yang dapat ditanggulangi

f.        Kerusakan mobilisasi yang berhubungan dengan hemiparise, hemiplegia, postur tubuh abnormal, spontanitas atau kontraktur
Tujuan            : Kerusakan mobilisasi fisik dapat teratasi.
Kriteria hasil   :
§         Pasien dapat melakukan/mempertahankan posisi fungsi optimal, dibuktikan olek tak adanya kontraktur, foot drop
§         Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit dan kompensasi
§         Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus
Intervensi:
1)      Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
R/   : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2)      Berikan derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan keterangan skala ketergantungan (0-4):
0    : Pasien tidak tergantung pada orang lain
1    : Pasien butuh sedikit bantuan
2    : Pasien butuh bantuan/pengawasan/bimbingan sederhana
3    : Pasien butuh bantuan yang banyak
4    : Pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan
R/   : Untuk menentukan tingkat aktivitas dan bantuan yang diberikan. 
3)      Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi antara waktu perubahan posisi tersebut
R/   : Untuk meningkatkan sirkulasi darah pada sebagian tubuh 
4)      Berikan bantuan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak .
R/   : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal extremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis  
5)      Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat-alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai dengan kemampuan.
R/   : Proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala dan pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat penting demi suatu program dengan pemulihan tersebut.
6)      Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab, dan ganti linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan
R/   : Melindungi jaringan lunak dari peristiwa kekeringan. Pasien perlu menutup mata selama tidur melindungi mata dari trauma jika tidak dapat menjaga mata tetap tertutup.
7)      Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan kandung kemih jika memungkinkan
R/   : Untuk mengetahui apakah pengeluaran urine dalam batas normal
8)      Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh jantung, neurologis
R/   : Sesaat setelah fase aktif cedera kepala dan jika pasien tidak memiliki faktor kontra indikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan menurunkan resiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi fase yang normal dan turgor kulit menjadi optimal
9)      Pantau pola eliminasi dan berikan/bantu untuk dapat melakukan  defekasi secara teratur. Periksa adanya konsistensi feses yang keras, gunakan stimulasi manual sesuai indikasi. Tambahkan makanan berserat sesuai dengan kebutuhan
R/   : Defekasi yang teratur merupakan kebutuhan yang sederhana tetapi merupakan tindakan yang amat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi.
10)  Berikan matras udara/air, tetapi kinetik sesuai dengan kebutuhan.
R/   : Menyeimbangkan tekanan jaringan, meningkatkan sirkulasi, dan membantu meningkatkan arus balik vena untuk menurunkan resiko terjadinya trauma jaringan.  

g.       Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadarn), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik
Tujuan            : Perubahan nutrisi dapat teratasi
Kriteria hasil   :
§         Pasien tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam rentan normal.
Intervensi:
1)      Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi
R/   : Untuk menentukan pilihan terhadap berbagai jenis makanan sehingga pasien harus terlindungi dari aspirasi
2)      Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya untuk makan atau berkembangnya komplikasi, seperti paralitik ileus
R/   : Membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus
3)      Timbang berat badan sesuai indikasi
R/   : Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
4)      Jaga kemampuan saat memberikan makanan terhadap pasien, seperti tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat selang NGT.
R/   : Menurunkan  resiko regurgitasi dan atau terjadinya aspirasi  
5)      Berikan makan dalam jumlah yang kecil dan dalam waktu yang sering dan teratur.
R/   : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
6)      Tingkat kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan
R/   : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makanan.
7)      Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya
R/   : Perubahan subakut dapat terjadi (ulkus cushing) dan perlu intervensi dan metode alternatif pemberian makan.
8)      Kolaborasi dengan ahli gizi
R/   : Mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh. Keadaan penyakit sekarang (trauma, penyakit jantung/masalah metabolisme).
9)      Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, transperin, keadaan asam amino, zat besi, ureum/kreatinin, keseimbangan nitrogen, glukosa AST/ALT dan elektrolit darah
R/   : Mengidentifikasi defisiensi nutrisi, fungsi organ dan respon       terhadap terapi nutrisi tersebut.
10)  Berikan makan dengan cara yang sesuai, seperti melalui selang NGT melalui oral dengan makanan lunak dan cairan yang agak kental
R/   : Untuk mencegah terjadi aspirasi
11)  Libatkan terapi wicara, terapi okupasi/fisioterapi jika masalah mekanis masih ada, seperti gangguan refleks menelan, kaku rahang kontraktur pada tangan dan paralisis
R/   : Strategi/peralatan khusus mungkin diperlukan untuk meningkatkan  kemampuan untuk makan

h.       Resiko tinggi terhadap terjadinya infeksi yang berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, perubahan kerja silia, stasis cairan tubuh kekurangan nutrisi.
Tujuan            : Infeksi tidak terjadi .

Kriteria hasil   :
§         Mempertahankan neumotermia
§         Mencapai penyembuhan luka teapt waktu bila ada
Intervensi:
1)      Berikan perawatan aseptrik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang  baik
R/   : Untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial
2)      Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasif (terpasang infus dan sebagainya), catat karakteristik dari darinase dan adanya inflamasi.
R/   : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan mencegah terhadap komplikasi selanjutnya. 
3)      Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/   : Dapat mengidentifikasi perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera. 
4)      Anjurkan untuk melakukan nafas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
R/   : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, etelektasis  
5)      Berikan perawatan perineal. Pertahankan integritas dari sistem drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum adekuat.
R/   : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang bertambah naik           .
6)      Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak enak)
R/   : Sebagai indikator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang memerlukan tindakan dengan segera.
7)      Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran nafas bagian atas
R/   : Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman penyebab infeksi 
8)      Kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi
R/   : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan), kobocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan  resiko infeksi nosokomial.
9)      Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi
R/   : Untuk memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat yang sesuai 

i.         Perubahan persepsi sensoris yang berhubungan dengan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisif neurologis)
Tujuan            : Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi residu.
Kriteria hasil   :
§         Mengakui dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu
§         Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil
Intervensi:
1)      Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara alam perasaan/efektif, sensorik dan proses pikir
R/   : Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigen. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat tertentu
2)      Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
R/   : Respon individu mungkin berubah ubah namun umumnya seperti emosi yang labil, frustasi, apatis dan munculnya tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan dari trauma kepala. Pencatatan terhadap tingkah laku memberikan informasi yang diperlukan untuk perkembangan proses rehabilitasi. 
3)      Observasi respon perilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, efektif yang tidak sesuai, agitasi, halusinasi
R/   : Memberi informasi yang diperlukan untuk perkembangan proses rehabilitasi
4)      Catat adanya perubahan yang spesifik dalam hal kemampuan seperti memusatkan kedua mata dengan mengikuti instruksi verbal sederhana dengan jawaban “ya” atau “tidak” makan sendiri dengan tangan dominan pasien.
R/   : Melokalisasi daerah otak yang mengalami gangguan dan mengidentifikasi tanda perkembangan terhadap peningkatan fungsi neurologis.  
5)      Hilangkan suara bising/stimulus yang berlebihan sesuai kebutuhan.
R/   : Menurunkan  ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
6)      Bicara dengan suara yang lembut dan pelan, gunakan kalimat yang pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata
R/   : Membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
7)      Berikan lingkungan terstruktur termasuk terapi, aktivitas. Buatkan jadwal untuk pasien dan tinjau secara teratur (jika memungkinkan)
R/   : Meningkatkan rasa terhadap kontrol diri atau melatih kognitif kembali
8)      Buat jadwal istirahat yang cukup/adekuat tanpa ada gangguan
R/   : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM
9)      Kolaborasi dengan ahli fisioterapi, terapi akupasi, terapi wicara dan terapi kognitif
R/   : Berguna dalam peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif dan keterampilan perseptual

j.        Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian tentang hasil/harapan
Tujuan            : Perubahan proses keluarga dapat diatasi.
Kriteria hasil   :
§         Keluarga mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas tepat
§         Mengidentifikasi sumber-sumber internal dan eksternal untuk menghadapi situasi
§         Mengarahkan energi dalam cara yang bertujuan merencanakan resolusi krisis
§         Mendorong dan memungkinkan anggota yang cedera untuk maju ke arah kemandirian
Intervensi:
1)      Catat bagian-bagian dari unit keluarga, keberadaan/keterlibatan sistem pendukung
R/   : Menentukan adanya sumber keluarga dan mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan
2)      Anjurkan keluarga untuk mengemukakan hal-hal yang menjadi perhatiannya tentang keseriusan kondisi, kemungkinan untuk meninggal atau kecacatan (ketidakmampuan)
R/   : Pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan  ansietas dan meningkatkan  koping terhadap realitas. 
3)      Dengarkan pasien dengan penuh perhatian selama pasien mengungkapkan ketidakberdayaan yang membuatnya gelisah
R/   : Kegembiraan dapat berubah menjadi kesedihan/kemarahan akan “kehilangan” dan kebutuhan pertemuan dengan orang baru yang mungkin asing bagi keluarga dan bahkan tidak disukai oleh keluarganya. Berlarutnya perasaan seperti tersebut di atas dapat menimbulkan depresi 
4)      Anjurkan untuk mengakui perasaannya. Jangan menyangkal atau meyakinkan bahwa segala sesuatunya akan beres/baik-baik saja.
R/   : Karena hal tersebut bermanfaat untuk membantu seseorang untuk menyatakan perasaannya tentang apa yang sedang terjadi sebagai akibat pemberian keyakinan yang kurang tepat/salah
5)      Berikan penguatan awal terhadap penjelasan tentang luasnya trauma, rencana pengobatan, dan prognosisnya. Berikan informasi yang tepat dan akurat pada tingkat pemahaman yang dapat diterima saat ini.
R/   : Pasien/orang terdekat tidak dapat menyerap/memahami semua infeksi yang disampaikan dan hambatan dapat terjadi sebagai akibat dari emosi karena trauma. Dengan berjalannya waktu penguatan terhadap informasi yang telah diberikan dapat membantu menurunkan konsepsi yang keliru, takut tentang sesuatu yang tidak diketahui/perkiraan di mana datang .
6)      Tekankan pentingnya untuk selalu menjaga suatu dialog terbuka secara terus-menerus antara anggota keluarga.
R/   : Memberikan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dalam suasana terbuka. Saling mengenal dan kesadaran terhadap satu dengan yang lainnya akan meningkatkan dan akan menghilangkan rasa marah.
7)      Libatkan keluarga dalam pertemuan tim rehabilitasi dan perencanaan perawatan/pengambilan keputusan
R/   : Memfasilitasi komunikasi, memungkinkan keluarga untuk mejadi bagian integral dari rehabilitasi dan memberikan rasa kontrol
8)      Identifikasi sumber-sumber komunitas yang ada seperti perawatan di rumah, konselor mengenai hukum/finansial
R/   : Memberikan bantuan dengan masalah yang mungkin meningkat sebagai akibat dari gangguan fungsi peran.
9)      Rujuk pada terapi keluarga atau kelompok-kelompok penyokong lainnya
R/   : Terapis dan model peran teman sebaya mungkin membantu keluarga menghadapi perasaan/situasi/memberikan dukungan untuk keputusan yang dibuat

k.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan.
Tujuan            : Berpartisipasi dalam proses belajar.
Kriteria hasil   :
§         Mengungkapkan tentang kondisi, aturan pengobatan potensial komplikasi
§         Memulai perubahan gaya hidup baru dan/atau keterlibatan dalam program rehabilitasi
§         Melakukan  prosedur yang diperlukan dengan benar
Intervensi:
1)      Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya
R/   : Memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas kebutuhan secara individual
2)      Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya
R/   : Membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya. 
3)      Diskusikan rencana untuk menenuhi kebutuhan perawatan diri
R/   : Berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual 
4)      Identifikasi tanda/gejala adanya faktor resiko secara individual, seperti kebocoran CSS yang lama, kejang pasca trauma.
R/   : Mengenal berkembangnya masalah memberikan kesempatan untuk mengevaluasi dan intervensi lebih awal untuk mencegah terjadinya komplikasi yang serius  
5)      Rujuk/tegaskan kembali pentingnya untuk melakukan evaluasi dengan tim rehabilitasi, seperti terapi fisik, terapi wicara, terapi okupasi dan sebagainya termasuk pula untuk melatih kembali proses kognitif.
R/   : Kerja keras (seringkali selama beberapa tahun dengan pemberi asuhan ini) akhirnya menghasilkan defisit neurologis dan memampukan pasien untuk mulai gaya hidup baru/produktif.

III. PENUTUP
KESIMPULAN
Trauma capitis atau trauma kepala dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan industri, benturan benda tumpul atau tajam, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga. Trauma capitis dapat disertai dengan adanya luka, baik yang terbuka maupun yang tertutup.
Untuk pengobatan dan penanganan pada pasien dengan trauma capitis, dapat dilakukan dengan cara operatif atau cara konservatif dan observatif, yaitu dengan memberi istirahat di tempat tidur untuk membantu mengurangi bahkan menghilangkan gejala atau keluhan dan mengobservasi tanda-tanda vital, tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK) dan pernafasan pasien. Dan untuk tindakan operatif dilakukan bila ditemukan indikasi adanya perdarahan dan peningkatan TIK.

Untuk menghindari atau meminimalkan resiko terjadinya cedera kepala atau trauma kepala maka disarankan kepada para pengendara motor untuk menggunakan helm, pengemudi mobil untuk menggunakan sabuk pengaman dan kepada para pekerja bangunan dianjurkan untuk menggunkan helm dan sabuk pengaman. Dan kepada keluarga sendiri dapat diberitahukan tanda-tanda apabila ditemukan tanda-tanda kambuh seperti pasien cenderung tidur (tanpa pengaruh obat), pasien mengeluh mata berkunang-kunang, pasien sesak napas, pasien mengeluh pusing, pasien panas/suhu tubuh panas, agar segera membawa pasien kontrol ke dokter.

Sebagai tenaga kesehatan, diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang penanganan dan asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma capitis sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang benar dan cepat pada penderita agar dapat mengurangi angka penderita dan angka kematian akibat trauma capitis.

















DAFTAR PUSTAKA
1.      Long C, Barbara, Barbara C. Long, Medical Surgical Nursing, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996
2.      Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993
3.      Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC ,2002
4.      Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000
5.      Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996
6.      Brunner and Suddarth. Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. Sydney: J.B Lippincott Compay, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar